Pernikahan
selalu menjadi sesuatu budaya adat istiadat
yang turun temurun yang sakral, agung
dan penuh keharuan. dan tentunya memiliki nilai filosofi tinggi
dalam setiap pesan yang disampaikan kepada kedua mempelai sebagai tuntunan bekal
hidup berumah tangga.
Pengantin
Upacara perkawinan adat Jawa merupakan warisan tradisi keraton yang dulu
hanya boleh diselenggarakan oleh keluarga keraton saja. Sebagai warisan tradisi
keraton tak pelak tata cara pernikahan adat Jawa ini merupakanrangkaian
upacara yang sarat makna dan filosofi, yang intinya adalah untuk memuliakan
Tuhan Yang Maha Esa, serta memohon berkah dan keselamatan bagi calon pasangan
suami istri dalam menjalankan biduk rumah tangganya kelak. (Mahligai, 2007 :
18) dan salah satu prosesi pernikahan adat Jawa yang masih dipertahankan dan
dilestaraikan adalah prosesi siraman pengantin.
Siraman pengantin “Siraman” dari kata siram (bahasa Jawa) yang dalam pengertian
Bahasa Indonesia memandikan calon pengantin agar calon pengantin bersih, suci
lahir dan batin. (Perkawinan, 2012 : 111).
Menurut
Anjar Ani (Perkawinan Adat Jawa Lengkap, 1986 : 36) siraman pengantin adat Jawa
dimulai dari jam 11.00 pagi, menurut Syahibul Hikayat, pada jam-jam tersebut
bidadari dari khayangan sedang turun ke sendang untuk mandi, harapannya agar
calon pengantin wanita mendapat berkah kecantikan dari sang bidadari.
Dalam
pelaksanaan prosesi “siraman
pengantin” busana calon pengantin wanita adalah kain batik motif “wahyu tumurun”
dan kemben kain “bangun tulak” (berlaku di keraton Surakarta), sedangkan orang
tua mengenakan “batik cakar” dan sabuk kemben “bangun tulak” dan setelah
selesai melakukan siraman calon pengantin perempuan mengenakan busana kembangan
atau yang disebut sawitan, baju kebaya dan kain motifnya sama (Mahligai, 2007 :
38).
Menurut
R Soemodidjojo (2008 : 31) pelaksanaan siraman pengantin pria dan wanita
dimulai dari menyiram kepala menggunakan air bunga setaman, badan digosok
dengan tepung beras tujuh warna yang dicampur dengan mangir, pandan wangi dan
daun kemuning yang sudah dihaluskan. Yang menyirami adalah para orang tua yang
dituakan, calon pengantin didudukan di bangku yang diberi alas tikar baru dan
daun-daunan (daun opo-opo, daun koro, daun kluwih, daun dhadap srep, daun
alang-alang), yang ditutup dengan kain batik motif Yuyu Sekandang atau lawon.
Setelah selesai menyirami pengantin dilanjutkan dengan wudhu dari air kendi
yang berasal dari tujuh sumber sumur bertuah. Kendi kemudian dipecah oleh orang
tua calon pengantin dengan mengucapkan “sudah keluar aura anaku”. Adapun
kelengkapan lain yang disajikan yaitu tumpeng lengkap, tumpeng robyong, tumpeng
gandul, bubur merah putih, jajan pasar, bunga dan ayam hidup.
Pelaksanaan
tradisi siraman pengantin dilakukan oleh kedua orang tua pengantin, sesepuh
yang mempunyai keteladanan dalam kehidupan berumah tangga yang berjumlah
sembilan orang,masing-masing menyiram sebanyak tiga kali
dengan air bunga manca warna dengan gayung yang terbuat dari tempurung kelapa
yang diakhiri siraman dari ayah calon pengantin wanita. Kemudian calon
pengantin berwudhu dengan air kendi yang berisi dari tujuh sumber mata air
bertuah. Setelah itu ayah pengantin wanita memecahkan (klenting) kendi sambil
mengucapkan “ora mecah kendi, nanging mecah pamore anaku” yang diartikan dalam
bahasa Indonesia “tidak memecahkan kendi, akan tetapi mengeluarkan aura anakku”
agar tampak seperti bidadari. (Mahligai, 2007 : 23).
Bambang Yudhoyono, dengan mengenakan motif
melati dan batik biru, calon pengantin dimandikan dengan air yang diambil dari
tujuh sumber yaitu Masjid Baiturrahman, Istana Merdeka, kediaman Ibu Sumarti
(Ibunda Ibu Ani Yudhoyono), Istana Cipnas, Kediaman Ibu Habibah (Ibunda Bpk H.
Susilo Bambang Yudhoyono), di Pacitan, Puri Cikeas, dan kediaman Bapak H. Hatta
Rajasa. Siraman dipercaya membersihkan jiwa seseorang dalam menempuh babak
baru. (Tabloid Bintang, 2011 : 05).
Prosesi “dodol cendol” yaitu satu acara dalam satu rangkaian siraman
pengantin. “Dodol cendol” yang bermakna dari cendol yang berbentuk bulat yang
melambangkan kebulatan tekad orang tua untuk menjodohkan anak. Membeli cendol
dengan kereweng (pecahan genting). Hal itu menunjukkan bahwa kehidupaan manusia
berasal dari bumi, adapun yang melayani pembeli adalah ibu, yang menerima
pembayaran adalah ayah. Hal ini mengajarkan bahwa mencari nafkah harus selalu
saling membantu menurut KRAY. TG Ami Soekardi (Mahligai, 2007 : 23).
B. Makna dan Filosofi Perlengkapan Siraman
Pengantin dan Dodol Cendol.
1. Air tujuh sumber (pitu) ~ air perwitosan (kendi) :
Orang
Jawa sangat mensakralkan angka 7 (pitu) yang berarti pitulungan (bhs.Jawa) atau
pertolongan
Harapan
mendapatkan wahyu dijauhkan dari segala godaan
3.
Kain bangun tolak :
Harapan terhindar jauh dari
halangan, rintangan hidup
4.
Batik cakar (sebutan
kaki ayam) : Sebutan kaki ayam agar mempelai dapat ceker-ceker, seperti ayam
dalam mencari makan
5.
Busana kembangan
(setelan) :
Bersih
tata lahir batinnya. Keikhlasan akan meninggalkaan status gadis dan menjalani
hidup berumah tangga
6.
Motif Yuyu sekandang
:
Berharapan
untuk mendapatkan keturunan/ kelanjutan generasi berikutnya
7.
Gayung dari
tempurung kelapa : Kebulatan tekad orang tua untuk melepaskan putera, puteri
hidup berumah tangga.
8.
Air sekar manca
warna dalam jambagan (banyu sekar setaman) : Air siraman pengantin harum dengan
aneka bunga yang banyak.
9.
Kloso bongko :
Nama
kiasan tikar baru dari daun pandan
10. Daun tolak balak :
Daun
opo-opo, daun koro, daun kluwih, daun dadap srep, daun alang-alang.
11. Lawon/ kain blacu :
Berasal dari serat kapas, hari-hari kecukupan
sandang
12. Cendol berbentuk bulat :
Cendol
yang berbentuk bulat merupakan lambang kebulatan
kehendak orang tua untuk menjodohkan anak.
13. Uang kreweng/ pecahan genting dari tanah liat :
Kehidupan manusia berasal dari bumi/ tanah
14. Tumpeng lengkap :
Hubungan
manusia dengan Tuhan, mengharapkan agar didalam menjalankan
kehidupan berumah tangga hidup rukun dengan ridho Allah.
15. Tumpeng robyong :
Tumpeng
nasi putih berbentuk kerucut dihias dengan sayuran mentah maknanya agar
khajatan mantunya tamunya banyak. (bhs Jawa Robyong-robyong)
16. Tumpeng gundul :
Tumpeng
yang melambangkan payudara ibu, karena dalam perkawinan itu diharapkan
anak-anak hidup pertama kali dengan air susu ibu
17. Jajan pasar :
Jajan
pasar olahan dari hasil bumi antara lain pala kependen (jenis buah dari bumi),
pala kesimpar (jenis buah merambat), pala gumantung (jenis
buah bergantung)
18.
Lulur pengantin :
Tepung
beras manca warna, mangir, pandan wangi, daun kemuning bertujuan membersih-kan
kotoran tubuh, dan hasilnya warna kulit yang bersih bersinar.
19.
Pelepasan pitik
urip-uripan :
Melepas
ayam hidup yang diibaratkan melepas anak (calon pengantin) untuk kehidupan yang
baru
20.
Bubur merah putih :
Berani
dan suci/ kejujuran atau tanda kemenangan
21.
Bunga :
Hidup
yang selalu berwarna dan harapan.
C.
Pelaksanaan Adat Budaya Siraman Pengantin Jawa dan Dodol Cendol (Dawet)
Pada
hari yang sudah ditentukan untuk pelaksanaan prosesi siraman pengantin. Tempat
dan perlengkapan sudah disiapkan, dipasang dekorasi yang indah dengan
bunga-bunga pilihan sesuai adat Jawa antara lain : mawar, anggrek, melati,
janur, dll.
Perlengkapan
siraman pengantin meliputi jembangan yang diisi dengan air dari tujuh sumber
mata air bertuah yang ditaburi dengan bunga (bhs. Jawa : sekar manca warna),
gayung yang dibuat dari tempurung kelapa,
tempat duduk beralas tikar baru (bhs. Jawa kloso bongko) yang didalam gulungan
tikar diisi dengan aneka macam daun penolak balak (daun opo-opo, daun koro,
daun kluwih, daun dadap srep, daun alang-alang), kendi/klenting yang berisi air
dari tujuh sumber mata air bertuah.
Perlengkapan sajian meliputi, tumpeng lengkap, tumpeng robyong, tumpeng
gundul dan jajan pasar. Prosesi siraman pengantin dimulai dan dipandu oleh
seorang pemandu (pranata cara) yang dibuka dengan doa puji syukur kepada Tuhan
Yang Maha Esa. Berikutnya pengantin dengan busana siraman mengenakan kain batik
dengan motif wahyu tumurun dan kemben kain bangun tulak, duduk diatas dinglik
(tempat duduk) disirami dengan air bunga manca warna yang dimulai dari sang
ayah, ibu calon pengantin yang mengenakan kain batik motif cakar, kemudian
dilanjutkan para orang tua (bhs. Jawa pinisepuh) yang masing-masing sebanyak
tiga kali siraman, setelah selesai menyirami dilanjutkan acara berwudhu, calon
pengantin berwudhu dengan air kendi dan setelah selesai kendi dipecah oleh
salah satu orang tua calon pengantin dengan mengucapkan “ora mecah kendi,
nanging mecah pamore anakku” yang mempunyai arti dalam bahasa Indonesia “tidak
memecahkan kendi, akan tetapi mengeluarkan aura kecantikan lahir bathin anakku”.
Seusai
siraman calon pengantin wanita dibopong oleh ayah ibu menuju kamar pengantin,
selanjutnya ayah dipandu oleh perias pengantin melakukan menggunting rambut
halus ditengkuk (bhs. Jawa Tigas rikmo), lalu diberikan kepada ibu guntingan
rambut halus disimpan ke dalam suatu wadah kecil (cepuk), yang nantinya rambut
akan ditanam di halaman rumah. Hal tersebut bermakna membuang hal-hal yang
kotor. Kemudian rambut calon pengantin wanita dikeringkan sambil diharumi asap
ratus. Dan selanjutnya calon pengantin wanita dibuat cengkorongan, selanjutnya
rambut dirias dengan ukel konde tanpa perhiasan dan tanpa bunga.
Dihalaman
rumah acara dilanjutkan dengan prosesi dodol dawet. Pada saat calon pengantin
dipaes cengkorongan, kedua orang tua menjalankan tata cara dodol dawet (menjual
dawet). Disamping dawet sebagai wedangan, juga diambil makna dari cendol yang
berbentuk bulat merupakan lambang kebulatan kehendak orang tua untuk
menjodohkan anak.
Bagi
tamu undangan yang akan membeli dawet tersebut harus membayar dengan “kreweng”
(pecahan genting bukan dengan uang. Hal itu menunjukkan bahwa kehidupaan
manusia berasal dari bumi. Yang melayani pembeli adalah ibusedangkan yang
menerima pembayaran adalah ayah calon pengantin. Hal ini mengajarkan kapada
anak mereka yang akan menikah tentang bagaimana mencari nafkah sebagai suami
istri, harus saling membantu. Pemandu mengakhiri acara siraman pengantin dan
dodol dawet dengan doa ucapan syukur.
https://linkduit.net/PrG3z
Komentar
Posting Komentar